Ketika Identitas Menjadi Senjata: Politik Sektarian, Bahaya Laten di Jantung Negara Multikultural
Indonesia, dengan lebih dari 17.000 pulau, ratusan suku bangsa, dan beragam agama serta kepercayaan, adalah mozaik indah dari kemajemukan. Keberagaman ini adalah kekuatan sekaligus tantangan yang abadi. Namun, di balik narasi persatuan dalam keberagaman, tersimpan bahaya laten yang tak kalah mematikan: politik sektarian. Fenomena ini, yang kerap bersembunyi di balik retorika identitas, mampu merobek kohesi sosial dan mengancancam fondasi negara multikultural dari dalam.
Memahami Politik Sektarian: Bukan Sekadar Perbedaan, tapi Eksploitasi Perbedaan
Politik sektarian jauh melampaui sekadar keberadaan kelompok-kelompok identitas (agama, etnis, ras, golongan). Ia adalah sebuah strategi atau praktik politik yang secara sengaja mengeksploitasi, mempolarisasi, dan memobilisasi perbedaan-perbedaan identitas tersebut untuk mencapai tujuan politik tertentu. Tujuannya bisa beragam: merebut kekuasaan, mempertahankan dominasi, atau melemahkan lawan politik.
Ciri utamanya adalah pengukuhan loyalitas primer terhadap kelompok identitas di atas loyalitas terhadap negara atau bangsa. Narasi "kita" versus "mereka" menjadi inti, di mana "kita" diagungkan dan "mereka" direduksi, dicurigai, bahkan dimusuhi. Dalam konteks ini, identitas yang seharusnya menjadi kekayaan, justru bertransformasi menjadi senjata pemecah belah.
Akar dan Mekanisme Penyebaran Racun Sektarian
Politik sektarian tidak muncul dari ruang hampa. Ada beberapa akar dan mekanisme yang memungkinkan racunnya menyebar di negara multikultural:
- Warisan Sejarah dan Konflik Masa Lalu: Bekas luka konflik komunal atau ketidakadilan historis seringkali menjadi lahan subur bagi aktor politik untuk membangkitkan sentimen lama. Dendam dan trauma kolektif dimanipulasi untuk membangun soliditas kelompok dan membenci "pihak lain".
- Kesenjangan Sosial Ekonomi: Disparitas ekonomi yang tajam antar kelompok identitas dapat memicu kecemburuan dan rasa tidak adil. Para politisi oportunis kerap memanfaatkan ini dengan menyalahkan kelompok lain atas kemiskinan atau ketertinggalan suatu kelompok, mengubah isu kelas menjadi isu identitas.
- Kelemahan Institusi dan Penegakan Hukum: Ketika hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, atau ketika lembaga negara mudah diintervensi, ruang bagi politik sektarian menjadi luas. Impunitas bagi pelaku ujaran kebencian atau diskriminasi sektarian akan melanggengkan praktik ini.
- Oportunisme Politik Elitis: Elite politik yang tidak memiliki platform ideologi kuat atau rekam jejak yang mumpuni seringkali memilih jalan pintas dengan memainkan kartu identitas. Memobilisasi massa berdasarkan sentimen primordial jauh lebih mudah dan murah ketimbang menawarkan solusi programatik yang kompleks.
- Disinformasi dan Media Sosial: Era digital menjadi akselerator penyebaran politik sektarian. Hoaks, propaganda, dan ujaran kebencian yang berbasis identitas dapat menyebar dengan kecepatan luar biasa, memanipulasi persepsi publik, dan memperkuat polarisasi. Algoritma media sosial seringkali memperparah efek "echo chamber" di mana individu hanya terekspos pada pandangan yang sesuai dengan kelompoknya.
Dampak Mematikan: Mengoyak Kohesi dan Mengancam Eksistensi Negara
Politik sektarian bukan sekadar gangguan kecil; ia adalah ancaman eksistensial bagi negara multikultural:
- Fragmentasi Sosial dan Hilangnya Kohesi: Masyarakat yang sebelumnya hidup berdampingan mulai saling mencurigai. Tali silaturahmi terkoyak, digantikan oleh tembok-tembok identitas. Kepercayaan antar kelompok runtuh, mempersulit kerja sama dan gotong royong.
- Pelemahan Demokrasi dan Hak Minoritas: Politik sektarian cenderung melahirkan tirani mayoritas atau, sebaliknya, dominasi kelompok minoritas yang agresif. Ruang dialog menyempit, intoleransi menguat, dan hak-hak kelompok minoritas terancam atau bahkan direnggut. Diskriminasi sistematis dapat menjadi norma.
- Potensi Kekerasan dan Konflik Berdarah: Eskalasi sentimen sektarian dapat dengan mudah memicu konflik horizontal. Sejarah telah mencatat bagaimana kebencian yang dipupuk melalui politik identitas berujung pada kekerasan komunal, bahkan genosida, di berbagai belahan dunia.
- Kemunduran Pembangunan dan Stagnasi Ekonomi: Lingkungan yang tidak stabil akibat konflik sektarian akan mengusir investasi, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan mengalihkan sumber daya negara dari pembangunan ke penanganan konflik. Potensi kreatif dan produktif masyarakat pun tergerus.
- Erosi Identitas Nasional dan Loyalitas Ganda: Ketika identitas kelompok menjadi satu-satunya sumber loyalitas, rasa kebangsaan akan luntur. Warga negara tidak lagi merasa sebagai bagian dari "kita" yang lebih besar (bangsa), melainkan hanya bagian dari "kita" yang sempit (kelompok identitas). Ini adalah awal dari disintegrasi.
Membangun Benteng Pertahanan: Strategi Melawan Racun Sektarian
Mencegah dan mengatasi politik sektarian memerlukan upaya kolektif dan komprehensif:
- Pendidikan Inklusif dan Toleransi: Sistem pendidikan harus menanamkan nilai-nilai pluralisme, toleransi, saling pengertian, dan penghormatan terhadap perbedaan sejak dini. Kurikulum harus merefleksikan keberagaman bangsa dan mengajarkan sejarah yang berimbang.
- Penegakan Hukum yang Tegas dan Adil: Aparat penegak hukum harus bertindak tanpa pandang bulu terhadap setiap individu atau kelompok yang menyebarkan ujaran kebencian, melakukan diskriminasi, atau memicu konflik sektarian. Impunitas harus dihapuskan.
- Penguatan Institusi Demokrasi dan Good Governance: Pemerintahan yang bersih, transparan, akuntabel, dan melayani semua warga negara tanpa diskriminasi akan mengurangi celah bagi politisi oportunis untuk memainkan isu identitas. Penguatan check and balance sangat krusial.
- Keadilan Ekonomi dan Sosial: Mengurangi kesenjangan ekonomi antar kelompok adalah investasi jangka panjang untuk meredam potensi konflik sektarian. Distribusi kekayaan yang lebih adil dan akses merata terhadap pendidikan, kesehatan, serta pekerjaan akan mengurangi rasa ketidakadilan.
- Peran Krusial Pemimpin dan Media: Para pemimpin, baik formal maupun informal, memiliki tanggung jawab moral untuk menyerukan persatuan dan menolak segala bentuk politik sektarian. Media massa harus menjadi pilar jurnalisme yang berimbang, memverifikasi informasi, dan menolak menjadi corong propaganda sektarian.
- Dialog Antar Kelompok dan Rekonsiliasi: Mendorong ruang-ruang dialog lintas identitas untuk membangun pemahaman, empati, dan menemukan titik temu. Bagi masyarakat yang pernah mengalami konflik, proses rekonsiliasi yang jujur dan adil sangat penting untuk menyembuhkan luka dan membangun kembali kepercayaan.
Kesimpulan: Merawat Mozaik Bangsa
Politik sektarian adalah musuh dalam selimut bagi negara multikultural. Ia tidak menyerang dengan tank atau rudal, melainkan dengan memanipulasi emosi, menumbuhkan kebencian, dan merobek jalinan sosial yang telah lama dibangun. Bahaya laten ini menuntut kewaspadaan konstan dari setiap elemen masyarakat.
Merawat mozaik keberagaman bangsa bukan hanya tugas pemerintah, tetapi juga tanggung jawab setiap warga negara. Dengan menjunjung tinggi nilai-nilai toleransi, keadilan, dan persatuan, serta menolak segala bentuk eksploitasi identitas, kita dapat memastikan bahwa identitas akan tetap menjadi kekayaan, bukan senjata, dan bahwa negara multikultural kita akan terus berdiri kokoh di tengah badai apa pun.