Ketika Pariwisata Menjadi Arena Kekuasaan: Siapa Sesungguhnya Pemenang Agenda Wisata Nasional?
Pariwisata seringkali dipuja sebagai mesin penggerak ekonomi yang ajaib, janji kemakmuran, pencipta lapangan kerja, dan duta budaya bangsa. Di Indonesia, agenda wisata nasional diusung dengan ambisi besar, mulai dari "10 Destinasi Prioritas Baru" hingga program-program masif lainnya yang bertujuan menarik jutaan wisatawan, baik domestik maupun mancanegara. Namun, di balik narasi indah tentang pembangunan dan pertumbuhan, tersembunyi sebuah arena politik yang kompleks: politik pariwisata. Pertanyaan krusialnya bukan lagi apakah pariwisata membawa keuntungan, melainkan siapa yang sesungguhnya diuntungkan secara signifikan dari agenda-agenda wisata nasional ini?
Politik pariwisata adalah tentang bagaimana kekuasaan didistribusikan dan digunakan dalam proses perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan pariwisata. Ini melibatkan aktor-aktor beragam dengan kepentingan yang seringkali bertentangan, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, korporasi besar, investor asing, hingga komunitas lokal dan kelompok masyarakat adat. Membedah siapa yang diuntungkan adalah upaya untuk memahami dinamika kekuasaan dan ketidaksetaraan yang melekat dalam industri global ini.
1. Pemerintah Pusat dan Elite Birokrasi: Narasi Pembangunan dan Legitimasi
Tidak dapat dimungkiri, pemerintah pusat dan jajarannya adalah penerima manfaat utama dalam konteks makro. Agenda wisata nasional memberikan legitimasi politik, menunjukkan kapasitas pemerintah dalam "membangun" dan "memajukan" bangsa. Keuntungan yang diraih meliputi:
- Peningkatan Pendapatan Negara: Melalui pajak (hotel, restoran, tiket pesawat, dsb.), retribusi, dan devisa dari wisatawan asing. Ini menjadi sumber dana pembangunan lainnya.
- Citra dan Soft Power: Pariwisata adalah alat diplomasi yang efektif. Destinasi yang populer meningkatkan citra positif negara di mata dunia, menarik investasi, dan memperkuat posisi geopolitik.
- Penciptaan Lapangan Kerja (Makro): Meskipun seringkali dilebih-lebihkan, pariwisata memang menciptakan lapangan kerja, yang dapat digunakan sebagai indikator keberhasilan pembangunan.
- Proyek Infrastruktur: Agenda pariwisata menjadi pembenaran untuk pembangunan infrastruktur besar-besaran (bandara, jalan tol, pelabuhan, listrik, air bersih) yang tidak hanya melayani wisatawan tetapi juga masyarakat umum, meski seringkali lokasinya berpusat pada destinasi wisata unggulan.
- Kendali Sumber Daya: Pemerintah memiliki otoritas untuk menentukan area mana yang akan dikembangkan, mengeluarkan izin, dan mengalokasikan dana, yang pada gilirannya membuka peluang bagi pihak-pihak tertentu untuk mendapatkan proyek atau konsesi.
Namun, di balik keuntungan makro ini, terdapat pula keuntungan bagi elite birokrasi dan politik dalam bentuk pengaruh, proyek, dan bahkan potensi rent-seeking atau korupsi dalam pengadaan barang dan jasa terkait pariwisata.
2. Korporasi Besar dan Investor: Penguasa Rantai Nilai Pariwisata
Ini adalah kelompok yang seringkali menjadi pemenang terbesar dalam skala ekonomi. Korporasi besar dan investor, baik domestik maupun asing, memiliki modal, keahlian, dan jaringan untuk mendominasi rantai nilai pariwisata. Mereka diuntungkan melalui:
- Kepemilikan Aset Skala Besar: Hotel bintang lima, resor mewah, maskapai penerbangan, operator tur besar, pengembang properti di kawasan wisata, dan perusahaan pengelola destinasi. Investasi mereka seringkali didukung oleh insentif pajak atau kemudahan perizinan dari pemerintah.
- Skala Ekonomi dan Efisiensi: Dengan operasi yang besar, mereka dapat mencapai efisiensi tinggi dan menguasai pasar, menekan kompetitor kecil.
- "Kebocoran" Ekonomi (Leakage): Sebagian besar keuntungan yang dihasilkan oleh korporasi multinasional seringkali tidak tinggal di negara tujuan wisata, melainkan kembali ke kantor pusat di luar negeri (repatriasi keuntungan). Bahkan korporasi domestik besar pun cenderung memusatkan keuntungan di tingkat korporat, bukan menyebar ke komunitas lokal.
- Pengaruh Kebijakan: Melalui lobi dan kemitraan strategis, korporasi besar dapat memengaruhi pembuatan kebijakan pariwisata agar sesuai dengan kepentingan bisnis mereka, seperti zonasi, regulasi lingkungan, atau standar tenaga kerja.
- Akses ke Teknologi dan Jaringan Global: Mereka memiliki kemampuan untuk menjangkau pasar global melalui platform digital dan jaringan pemasaran internasional, yang sulit dijangau oleh pelaku usaha kecil.
3. Komunitas Lokal: Antara Harapan dan Keterpinggiran
Komunitas lokal, terutama yang tinggal di sekitar destinasi wisata, adalah kelompok yang paling rentan dan paling kompleks dalam menerima keuntungan. Narasi resmi selalu menempatkan mereka sebagai penerima manfaat langsung, namun realitasnya seringkali berbeda:
- Kesempatan Kerja (Seringkali Marjinal): Pariwisata memang menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat lokal, tetapi seringkali di sektor informal, bergaji rendah, dan tanpa jaminan (misalnya pelayan, pemandu lokal, pedagang suvenir). Posisi manajerial dan bergaji tinggi seringkali diisi oleh pekerja dari luar daerah atau bahkan ekspatriat.
- Pengembangan Infrastruktur (Dua Sisi): Pembangunan jalan, listrik, air bersih di kawasan wisata memang bisa dinikmati masyarakat lokal. Namun, seringkali fasilitas ini didesain untuk melayani wisatawan, dan dampaknya bagi masyarakat bisa jadi terbatas atau bahkan negatif (misalnya kenaikan harga tanah dan biaya hidup).
- Peluang Usaha Kecil: Beberapa individu atau keluarga bisa membuka homestay, warung makan, atau toko suvenir. Namun, mereka seringkali kesulitan bersaing dengan korporasi besar yang memiliki modal dan akses pasar lebih baik.
- Penggusuran dan Kehilangan Akses: Pembangunan resor besar seringkali memerlukan akuisisi lahan yang luas, menyebabkan penggusuran masyarakat adat atau petani, serta hilangnya akses terhadap sumber daya tradisional seperti pantai, hutan, atau lahan pertanian.
- Komodifikasi Budaya: Budaya lokal, tradisi, dan seni seringkali "dikemas" dan "dijual" sebagai atraksi wisata, yang dapat mengikis otentisitas dan nilai intrinsik budaya tersebut jika tidak dikelola dengan hati-hati.
- Ketidaksetaraan: Pariwisata dapat memperdalam kesenjangan sosial ekonomi di dalam komunitas itu sendiri, di mana sebagian kecil berhasil meraih keuntungan sementara sebagian besar tetap terpinggirkan atau bahkan lebih miskin.
4. Investor Asing: Kapital Global, Prioritas Keuntungan
Kehadiran investor asing dalam agenda wisata nasional seringkali dielu-elukan sebagai penanda kepercayaan dan suntikan modal yang dibutuhkan. Namun, dampaknya perlu dicermati:
- Injeksi Modal dan Teknologi: Investor asing membawa modal besar, teknologi canggih, dan standar manajemen internasional yang dapat meningkatkan kualitas layanan dan infrastruktur pariwisata.
- Dominasi Pasar: Dengan modal dan pengalaman yang kuat, mereka dapat dengan cepat mendominasi segmen pasar tertentu, seringkali mengorbankan pelaku usaha lokal.
- Repatriasi Keuntungan: Sebagian besar keuntungan yang mereka hasilkan akan dikirim kembali ke negara asal mereka, mengurangi manfaat ekonomi yang tinggal di Indonesia.
- Pengaruh Terhadap Kebijakan: Investor asing, terutama yang berskala besar, juga memiliki pengaruh lobi yang kuat untuk memastikan kebijakan yang menguntungkan investasi mereka, bahkan jika itu merugikan kepentingan lingkungan atau masyarakat lokal.
Kesimpulan: Menuju Pariwisata yang Lebih Adil dan Berkelanjutan
Politik pariwisata jelas menunjukkan bahwa agenda wisata nasional, meski mengusung narasi kemakmuran, bukanlah mesin yang mendistribusikan keuntungan secara merata. Sebaliknya, ia cenderung memperkuat posisi aktor-aktor yang sudah memiliki kekuasaan dan modal: pemerintah pusat (sebagai pembuat kebijakan dan penguasa sumber daya), serta korporasi besar dan investor (sebagai pemilik aset dan penguasa pasar). Komunitas lokal, yang seharusnya menjadi tulang punggung dan penerima manfaat utama, seringkali berakhir sebagai penonton, penyedia tenaga kerja murah, atau bahkan korban dari pembangunan yang tidak inklusif.
Untuk menciptakan pariwisata yang benar-benar berkelanjutan dan adil, diperlukan pergeseran paradigma. Ini bukan hanya tentang berapa banyak wisatawan yang datang atau berapa banyak devisa yang dihasilkan, melainkan tentang:
- Pemberdayaan Komunitas Lokal: Memberikan kontrol yang lebih besar kepada masyarakat lokal dalam perencanaan, pengelolaan, dan kepemilikan usaha pariwisata.
- Distribusi Keuntungan yang Adil: Memastikan bahwa sebagian besar keuntungan pariwisata benar-benar tinggal di komunitas lokal dan berkontribusi pada peningkatan kesejahteraan mereka.
- Regulasi yang Pro-Rakyat dan Lingkungan: Pemerintah harus berperan sebagai regulator yang kuat untuk melindungi lingkungan dan hak-hak masyarakat lokal dari eksploitasi korporasi besar.
- Diversifikasi Ekonomi: Pariwisata seharusnya bukan satu-satunya tumpuan ekonomi, agar komunitas lokal tidak sepenuhnya bergantung dan rentan terhadap fluktuasi industri ini.
- Transparansi dan Akuntabilitas: Proses pengambilan keputusan dalam pariwisata harus transparan dan akuntabel, melibatkan semua pemangku kepentingan.
Jika tidak ada upaya serius untuk meninjau kembali siapa yang sesungguhnya diuntungkan, agenda wisata nasional, sehebat apa pun narasi dan ambisinya, akan terus menjadi arena kekuasaan di mana pemenang utamanya adalah mereka yang sudah kuat, meninggalkan pertanyaan abadi tentang keadilan dan keberlanjutan bagi mereka yang paling merasakannya.












