Berita  

Bentrokan agraria serta peperangan orang tani dalam menjaga tanah

Ketika Tanah Berteriak: Peperangan Abadi Orang Tani Melawan Cengkeraman Korporasi dan Kebijakan yang Menjerat

Tanah. Bagi sebagian orang, ia hanyalah komoditas, hamparan datar yang bisa diukur, dibeli, atau dieksploitasi untuk keuntungan sebesar-besarnya. Namun, bagi jutaan orang tani dan masyarakat adat di seluruh penjuru Nusantara, tanah adalah lebih dari itu. Ia adalah denyut nadi kehidupan, warisan leluhur, sumber pangan, identitas budaya, bahkan manifestasi spiritual. Ketika denyut nadi itu terancam, ketika warisan itu dirampas, maka perang pun tak terhindarkan – sebuah peperangan abadi yang tak selalu bersenjata, namun sarat akan pengorbanan, keberanian, dan perjuangan untuk mempertahankan martabat. Inilah bentrokan agraria, arena pertempuran antara kekuatan raksasa dengan kesetiaan pada bumi.

Akar Masalah: Sejarah, Kebijakan, dan Kapitalisme yang Melahap

Bentrokan agraria bukanlah fenomena baru. Akarnya menjalar jauh ke masa kolonial, di mana konsep kepemilikan tanah modern diperkenalkan dan mengesampingkan sistem kepemilikan komunal atau adat. Hukum agraria kolonial, seperti domein verklaring, secara sepihak mengklaim tanah-tanah yang tidak dibuktikan kepemilikannya sebagai milik negara, membuka jalan bagi konsesi besar-besaran untuk perkebunan dan pertambangan. Pasca-kemerdekaan, janji reforma agraria seringkali kandas di tengah jalan, digantikan oleh kebijakan pembangunan yang mengedepankan investasi skala besar.

Di era modern, pemicu bentrokan agraria semakin kompleks. Ekspansi industri ekstraktif (pertambangan, migas), perkebunan monokultur (kelapa sawit, akasia, tebu), pembangunan infrastruktur raksasa (bendungan, jalan tol, kawasan industri), hingga proyek pariwisata super-prioritas, seringkali menjadi motor penggerak perampasan tanah. Para petani dan masyarakat adat, yang telah mengelola tanah turun-temurun dengan bukti-bukti adat atau hak garap yang kuat, tiba-tiba dihadapkan pada klaim hukum yang sah dari korporasi yang didukung oleh izin konsesi dari negara.

Ketimpangan informasi, proses perizinan yang tidak transparan, manipulasi data, praktik makelar tanah yang licik, serta lemahnya penegakan hukum terhadap hak-hak masyarakat lokal, menjadi celah bagi korporasi untuk merangsek masuk. Aparat keamanan, yang seharusnya netral, tak jarang justru berpihak pada kepentingan investor, semakin memperparah posisi tawar masyarakat. Ini adalah pertarungan David melawan Goliath, di mana David bukan hanya bertarung dengan batu, tetapi juga dengan narasi hukum, modal, dan kekuasaan.

Bentuk-bentuk Peperangan Orang Tani: Dari Negosiasi hingga Perlawanan Fisik

"Peperangan orang tani" dalam konteks bentrokan agraria jarang sekali berarti pertempuran militer konvensional. Ia adalah sebuah spektrum perlawanan yang panjang dan melelahkan, dimulai dari upaya-upaya dialogis hingga aksi-aksi yang penuh risiko:

  1. Perlawanan Non-Kekerasan dan Hukum: Petani sering memulai dengan mengirimkan surat keberatan, melakukan audiensi dengan pemerintah daerah maupun pusat, menggelar aksi damai, unjuk rasa, atau blokade jalan. Mereka membentuk serikat tani, paguyuban masyarakat adat, atau aliansi dengan NGO dan aktivis hak asasi manusia untuk memperkuat suara. Upaya hukum melalui pengadilan juga sering ditempuh, meski seringkali berujung pada kekecewaan karena sistem peradilan yang bias.

  2. Membangun Narasi dan Solidaritas: Bagian penting dari peperangan ini adalah mempertahankan dan menyebarkan narasi kebenaran mereka. Melalui media alternatif, kesenian, atau forum-forum adat, mereka menegaskan kembali hubungan spiritual dan historis mereka dengan tanah. Solidaritas antar-komunitas yang terdampak juga menjadi senjata ampuh untuk saling menguatkan dan belajar dari pengalaman perjuangan.

  3. Mempertahankan Tanah Secara Fisik (Pendudukan Kembali/Reclaiming): Ketika semua jalur dialog dan hukum menemui jalan buntu, dan ancaman penggusuran semakin nyata, petani seringkali terpaksa melakukan tindakan langsung. Ini bisa berupa pendudukan kembali lahan yang diklaim secara sepihak oleh korporasi (sering disebut reclaiming atau patroli batas), mendirikan posko perjuangan di atas lahan sengketa, atau menolak meninggalkan rumah dan ladang mereka meskipun di bawah ancaman. Aksi-aksi ini seringkali berujung pada bentrokan fisik dengan aparat keamanan atau preman bayaran korporasi.

  4. Kriminalisasi dan Kekerasan: Reaksi terhadap perlawanan petani seringkali brutal. Petani dan aktivis dituduh sebagai provokator, perusak fasilitas, atau bahkan makar. Mereka dijerat dengan pasal-pasal karet, ditangkap, ditahan, dan dipenjarakan. Kekerasan fisik, intimidasi, pembakaran rumah, hingga perusakan tanaman, bukanlah hal asing dalam catatan bentrokan agraria. Di beberapa kasus ekstrem, nyawa pun melayang, menjadikan para pejuang tanah sebagai martir. Ini adalah bentuk kekerasan struktural dan langsung yang tak terucapkan, bagian dari "peperangan" yang harus mereka hadapi.

Jejak Luka dan Semangat Juang yang Tak Padam

Dampak bentrokan agraria meninggalkan jejak luka mendalam. Keluarga kehilangan tanah, mata pencaharian, dan rumah mereka, terpaksa menjadi buruh migran atau hidup dalam kemiskinan di daerah urban. Komunitas adat kehilangan hutan dan wilayah tangkapan ikan, yang berarti hilangnya sumber daya alam sekaligus hilangnya tradisi, pengetahuan lokal, dan identitas budaya mereka. Trauma psikologis akibat kekerasan dan intimidasi membayangi generasi.

Namun, di tengah semua kepedihan itu, semangat juang orang tani tak pernah padam. Ikatan batin yang mendalam dengan tanah, yang diwarisi dari leluhur dan diyakini sebagai penopang hidup dan mati, menjadi sumber kekuatan tak terbatas. Solidaritas antar-petani, dukungan dari aktivis, dan keyakinan akan keadilan, terus membakar semangat perlawanan. Mereka bukan hanya mempertahankan sebidang tanah, tetapi juga hak untuk hidup, untuk menentukan nasib sendiri, dan untuk melestarikan kearifan lokal yang telah terbukti menjaga keseimbangan alam. Perjuangan ini adalah manifestasi nyata dari gut feeling bahwa ada yang salah, ada yang tidak adil, dan mereka harus melawannya.

Menuju Keadilan Agraria: Peran Negara dan Harapan Masa Depan

Penyelesaian bentrokan agraria membutuhkan keberpihakan negara yang kuat kepada rakyatnya. Ini bukan hanya tentang pembagian sertifikat tanah, tetapi tentang reforma agraria sejati yang melibatkan pengakuan hak-hak adat, peninjauan ulang izin-izin konsesi yang bermasalah, penyelesaian konflik secara adil dan transparan, serta penegakan hukum yang tegas terhadap pelaku perampasan tanah dan kekerasan.

Pemerintah perlu memastikan partisipasi aktif masyarakat dalam setiap kebijakan yang berkaitan dengan tanah, memperkuat lembaga penyelesaian konflik agraria yang independen, dan menjamin perlindungan hukum bagi para pejuang tanah. Lebih dari itu, diperlukan perubahan paradigma pembangunan dari ekstraktif-sentris menjadi berpihak pada keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.

Selama tanah masih berteriak, selama hak-hak petani dan masyarakat adat masih diinjak-injak, selama keadilan masih menjadi barang mahal, peperangan abadi ini akan terus berlanjut. Ini adalah panggilan nurani bagi kita semua untuk melihat lebih dalam, mendengar lebih saksama, dan mendukung perjuangan para penjaga tanah, karena di tangan mereka, tergenggam masa depan pangan, lingkungan, dan martabat kemanusiaan.

Exit mobile version