Jantung Pertiwi dalam Genggaman Ancaman: Kisah Perlawanan Agraria dan Peperangan Publik Adat Mempertahankan Tanah
Bagi sebagian besar masyarakat adat dan petani di berbagai belahan dunia, tanah bukanlah sekadar hamparan bumi atau properti ekonomis yang bisa diperjualbelikan. Tanah adalah nafas, identitas, pustaka sejarah, dan warisan leluhur yang tak ternilai harganya. Ia adalah pusat kebudayaan, sumber pangan, apotek alam, tempat ritual, hingga makam para pendahulu. Ketika tanah ini terancam oleh laju pembangunan, investasi skala besar, atau kebijakan yang abai, yang muncul bukanlah sekadar sengketa lahan biasa, melainkan sebuah "bentrokan agraria" yang kerap memicu "peperangan publik adat" – sebuah perjuangan hidup mati yang digerakkan oleh roh perlawanan kolektif.
Akar Konflik: Perebutan Sumber Daya dan Ketimpangan Struktural
Bentrokan agraria adalah manifestasi dari ketimpangan struktural dalam penguasaan dan pemanfaatan sumber daya alam. Akarnya seringkali dapat dilacak hingga masa kolonialisme yang memisahkan masyarakat dari tanah komunal mereka, dilanjutkan oleh kebijakan negara pasca-kemerdekaan yang cenderung sentralistik dan menganggap tanah sebagai "tanah negara" yang bebas dialokasikan.
Saat ini, pemicu utama bentrokan agraria adalah ekspansi korporasi raksasa di sektor perkebunan (terutama sawit), pertambangan, kehutanan, energi, dan infrastruktur. Dengan dalih pembangunan dan investasi, izin-izin konsesi dikeluarkan di atas wilayah adat atau lahan garapan petani, seringkali tanpa persetujuan yang bebas dan didasari informasi lengkap (Free, Prior, and Informed Consent/FPIC) dari komunitas yang terdampak. Aparat keamanan negara, yang seharusnya menjadi pelindung, seringkali justru berpihak pada korporasi, memperburuk situasi dan memicu resistensi.
Tanah sebagai Jantung Kehidupan: Mengapa Mereka Berjuang Mati-matian
Untuk memahami intensitas "peperangan publik adat," kita harus menyelami makna tanah bagi mereka. Ini bukan hanya soal kehilangan mata pencarian, melainkan kehilangan segalanya:
- Identitas dan Budaya: Tanah adalah ruang di mana adat istiadat, ritual, dan sistem pengetahuan tradisional dipraktikkan dan diwariskan. Kehilangan tanah berarti kehilangan identitas kultural dan spiritual.
- Kedaulatan Pangan: Masyarakat adat dan petani sangat bergantung pada tanah mereka untuk produksi pangan. Perampasan tanah mengancam kedaulatan pangan dan menyebabkan kelaparan.
- Kearifan Lokal dan Ekologi: Mereka adalah penjaga ekosistem yang paling efektif, dengan pengetahuan mendalam tentang alam. Perampasan tanah seringkali diikuti oleh kerusakan lingkungan parah seperti deforestasi dan pencemaran air.
- Hubungan Leluhur: Tanah adalah tempat bersemayamnya arwah leluhur, yang menghubungkan masa lalu, kini, dan masa depan. Mengganggu tanah adalah mengganggu harmoni kosmik mereka.
Strategi Perlawanan: "Peperangan Publik Adat" dalam Berbagai Rupa
Melihat tanah mereka terancam, masyarakat adat dan petani tidak tinggal diam. "Peperangan publik adat" ini jarang berbentuk perang konvensional dengan senjata, melainkan sebuah perjuangan multidimensional yang gigih:
- Perlawanan Non-Kekerasan Aktif: Ini mencakup aksi massa damai, blokade jalan menuju lokasi proyek, pendirian tenda perjuangan di garis depan, demonstrasi di kantor pemerintahan, hingga boikot produk perusahaan. Kekuatan mereka terletak pada solidaritas komunal dan keberanian kolektif.
- Perjuangan Hukum dan Advokasi: Komunitas seringkali menempuh jalur hukum, mengajukan gugatan ke pengadilan, atau bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil (CSO) untuk advokasi di tingkat nasional maupun internasional. Mereka mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia dan menyebarluaskan informasi.
- Penguatan Adat dan Budaya: Di tengah ancaman, mereka justru semakin menguatkan identitas adat. Ini bisa berupa revitalisasi ritual, pemetaan partisipatif wilayah adat untuk menegaskan klaim, hingga pendidikan bagi generasi muda tentang pentingnya menjaga tanah.
- Diplomasi dan Negosiasi: Meskipun seringkali tidak seimbang, upaya dialog dan negosiasi tetap dilakukan, baik dengan perusahaan maupun pemerintah, untuk mencari solusi damai.
- Perlawanan Spontan dan Reaktif: Ketika tekanan mencapai puncaknya atau terjadi tindakan represif, perlawanan bisa menjadi lebih spontan dan kadang diwarnai konfrontasi fisik sebagai bentuk membela diri atau mempertahankan wilayah secara langsung.
Dampak dan Konsekuensi Berat
Perjuangan ini seringkali berbuah pahit. Masyarakat adat dan petani harus menghadapi:
- Kekerasan dan Kriminalisasi: Aktivis dan pemimpin komunitas sering menjadi target kekerasan fisik, penangkapan sewenang-wenang, intimidasi, bahkan pembunuhan. Mereka dituduh sebagai provokator, perusak fasilitas, atau bahkan teroris.
- Perpecahan Sosial: Taktik pecah belah sering digunakan, memicu konflik internal di dalam komunitas atau antara komunitas dengan pihak pro-investasi.
- Kemiskinan dan Perpindahan: Kehilangan tanah berarti kehilangan mata pencarian, memaksa mereka bermigrasi ke kota atau menjadi buruh upahan di tanah mereka sendiri.
- Kerusakan Lingkungan: Meskipun mereka berjuang melindunginya, kerusakan lingkungan akibat operasi korporasi tetap terjadi, mengancam sumber daya alam dan kesehatan mereka.
- Trauma Psikologis: Tekanan terus-menerus, ancaman, dan kekerasan meninggalkan trauma mendalam bagi individu dan komunitas.
Harapan dan Tantangan ke Depan
Meskipun berat, perjuangan ini tidak pernah padam. Ada secercah harapan:
- Pengakuan Hak Adat: Di Indonesia, Rancangan Undang-Undang Masyarakat Adat terus didorong, dan beberapa putusan pengadilan telah mengakui hak-hak masyarakat adat atas wilayahnya.
- Peran Masyarakat Sipil dan Internasional: Organisasi non-pemerintah (LSM) lokal dan internasional terus memberikan dukungan hukum, advokasi, dan bantuan kemanusiaan.
- Kesadaran Publik yang Meningkat: Kisah-kisah perlawanan ini semakin sering diberitakan, meningkatkan kesadaran publik tentang urgensi masalah agraria.
Namun, tantangan masih besar. Pemerintah perlu memiliki kemauan politik yang kuat untuk melakukan reforma agraria sejati, meninjau ulang izin-izin konsesi bermasalah, menegakkan hukum secara adil, dan mengakui serta melindungi hak-hak masyarakat adat secara komprehensif.
"Peperangan publik adat" ini adalah cermin dari pertempuran nilai: antara pembangunan yang berorientasi laba vs. pembangunan yang berkelanjutan dan berkeadilan; antara penguasaan vs. keberlanjutan. Selama tanah masih menjadi jantung kehidupan bagi masyarakat adat dan petani, dan selama ancaman terhadapnya masih terus ada, perjuangan ini akan terus berlanjut. Ini adalah kisah tentang keberanian, ketabahan, dan cinta mendalam terhadap tanah yang tak akan pernah mati.