Mengapa Politik Sering Mengabaikan Kaum Marginal?

Di Balik Tirai Kekuasaan: Mengapa Suara Kaum Marginal Kerap Tak Terdengar dalam Arena Politik?

Politik, dalam idealnya, adalah seni mengatur masyarakat demi kebaikan bersama. Ia seharusnya menjadi wadah di mana setiap suara, dari yang paling lantang hingga yang paling lirih, memiliki kesempatan untuk didengar dan dipertimbangkan. Namun, realitas seringkali jauh panggang dari api. Di tengah hingar-bingar perebutan kekuasaan, kampanye megah, dan janji-janji manis, ada satu kelompok yang suara dan kebutuhannya kerap terpinggirkan: kaum marginal.

Mereka adalah penyandang disabilitas, masyarakat adat yang terancam, pekerja informal berupah rendah, minoritas etnis atau agama yang terdiskriminasi, tunawisma, kelompok rentan bencana, atau siapa pun yang berada di pinggiran struktur sosial-ekonomi dan politik. Mengapa sistem yang seharusnya inklusif ini justru sering abai terhadap mereka? Mari kita telusuri lapisan-lapisan kompleks penyebabnya.

1. Kalkulasi Politik dan Strategi Elektoral: Suara Massa adalah Raja

Dalam demokrasi modern, politik adalah permainan angka. Partai politik dan kandidat sangat bergantung pada jumlah suara untuk memenangkan pemilihan. Kaum marginal, meskipun jumlahnya signifikan secara kolektif, seringkali tersebar, tidak terorganisir sebagai blok pemilih yang solid, atau secara individu memiliki kekuatan tawar yang kecil.

Para politisi cenderung menginvestasikan waktu, sumber daya, dan janji-janji mereka pada kelompok pemilih mayoritas atau yang memiliki daya tawar tinggi (misalnya, serikat pekerja besar, pengusaha, atau kelompok profesional). Isu-isu yang diangkat kaum marginal seringkali tidak "seksi" secara elektoral, tidak menjanjikan kemenangan cepat, atau bahkan bisa dianggap "membebani" agenda pembangunan yang lebih populis. Fokusnya adalah pada return on investment politik: dari mana mereka bisa mendapatkan suara terbanyak dengan usaha paling sedikit?

2. Ketiadaan Suara dan Representasi yang Kuat

Salah satu hambatan terbesar bagi kaum marginal adalah ketiadaan platform yang memadai untuk menyuarakan aspirasi mereka. Mereka jarang memiliki lobi yang kuat di parlemen, organisasi masyarakat sipil yang didanai dengan baik, atau akses langsung ke pengambil kebijakan. Media massa juga cenderung lebih tertarik pada isu-isu sensasional atau konflik politik daripada kisah perjuangan kaum marginal yang seringkali kompleks dan membutuhkan pemahaman mendalam.

Selain itu, minimnya representasi kaum marginal di dalam struktur politik itu sendiri – baik sebagai anggota parlemen, pejabat pemerintah, atau staf ahli – memperparah masalah ini. Bagaimana bisa kebijakan dirumuskan dengan sensitivitas yang tepat jika mereka yang merumuskan tidak pernah mengalami atau memahami secara langsung realitas hidup kaum marginal?

3. Kompleksitas Isu dan Solusi Jangka Panjang

Masalah yang dihadapi kaum marginal seringkali bersifat struktural, multidimensional, dan membutuhkan solusi jangka panjang yang komprehensif. Kemiskinan ekstrem, diskriminasi sistemik, kurangnya akses terhadap pendidikan dan kesehatan, atau hilangnya tanah adat, bukanlah masalah yang bisa diselesaikan dengan proyek "mercu suar" atau program karitatif sesaat.

Politisi, dengan masa jabatan yang terbatas, cenderung mencari solusi cepat dan terlihat (visibel) yang bisa "dijual" sebagai pencapaian selama kampanye berikutnya. Mengerjakan masalah kaum marginal seringkali berarti melakukan reformasi institusional yang lambat, mengalokasikan anggaran besar tanpa hasil instan yang terlihat, dan menghadapi resistensi dari kelompok-kelompok yang diuntungkan oleh status quo. Ini bukan pilihan yang menarik bagi politisi yang berorientasi pada kemenangan cepat.

4. Stigma Sosial dan "Pengasingan" (Othering)

Dalam banyak masyarakat, kaum marginal seringkali menjadi korban stigma sosial, prasangka, atau bahkan demonisasi. Mereka mungkin dianggap sebagai "pemalas," "beban negara," "penyebab masalah," atau "orang-orang yang berbeda." Stigma ini menciptakan jarak emosional dan moral antara kaum marginal dan masyarakat luas, termasuk para pembuat kebijakan.

Ketika sebuah kelompok dianggap "yang lain" atau "bukan bagian dari kita," lebih mudah bagi sistem untuk mengabaikan penderitaan mereka. Empati berkurang, dan masalah mereka dianggap sebagai tanggung jawab mereka sendiri, bukan kegagalan sistem atau tanggung jawab kolektif. Narasi negatif ini juga dapat digunakan oleh politisi untuk mengalihkan perhatian atau bahkan menggalang dukungan dengan menyalahkan kelompok-kelompok rentan.

5. Keterbatasan Sumber Daya dan Prioritas Pembangunan

Meskipun negara memiliki kewajiban untuk melindungi semua warganya, alokasi sumber daya seringkali terbatas. Dalam perdebatan tentang anggaran dan prioritas pembangunan, kaum marginal seringkali ditempatkan di urutan bawah. Investasi dalam infrastruktur besar, pertumbuhan ekonomi yang berorientasi pada korporasi, atau proyek-proyek yang menjanjikan keuntungan finansial yang cepat, seringkali lebih diprioritaskan daripada program-program yang menargetkan pengentasan kemiskinan ekstrem atau pemberdayaan komunitas terpinggirkan.

Argumen yang sering muncul adalah bahwa "kue ekonomi harus dibesarkan dulu, baru dibagi." Namun, dalam praktiknya, seringkali kue tersebut dibagi secara tidak merata, dan remah-remah pun sulit sampai ke kaum marginal.

Konsekuensi dan Jalan Ke Depan

Pengabaian politik terhadap kaum marginal memiliki konsekuensi yang mendalam: meningkatnya ketimpangan sosial dan ekonomi, memburuknya kualitas hidup, hilangnya potensi sumber daya manusia, serta potensi instabilitas sosial. Masyarakat yang mengabaikan warganya yang paling rentan pada akhirnya akan membayar harga yang mahal.

Untuk mengubah narasi ini, diperlukan upaya kolektif dan multi-pihak:

  1. Penguatan Organisasi Kaum Marginal: Mendorong pembentukan dan penguatan organisasi yang mewakili kepentingan kaum marginal agar mereka memiliki kekuatan tawar yang lebih besar.
  2. Pendidikan dan Kesadaran Publik: Meningkatkan pemahaman masyarakat tentang isu-isu kaum marginal untuk mengurangi stigma dan membangun empati.
  3. Reformasi Sistem Pemilu dan Politik: Mendorong sistem pemilu yang lebih inklusif dan mendorong representasi kaum marginal dalam lembaga-lembaga politik.
  4. Advokasi Kebijakan Berbasis Data: Menyediakan data dan bukti yang kuat tentang dampak pengabaian dan manfaat dari kebijakan inklusif.
  5. Peran Media yang Bertanggung Jawab: Mendorong media untuk lebih sering mengangkat kisah dan isu kaum marginal dengan cara yang berimbang dan mendalam.
  6. Komitmen Politik yang Kuat: Membangun kepemimpinan politik yang memiliki visi jangka panjang, keberanian moral, dan komitmen tulus untuk mewujudkan keadilan sosial bagi semua.

Pada akhirnya, politik yang sejati adalah politik yang merangkul setiap warga negara, tanpa terkecuali. Suara kaum marginal mungkin lirih, namun resonansinya adalah cerminan dari kemanusiaan kita. Hanya dengan mendengarkan dan bertindak atas nama mereka, kita bisa membangun masyarakat yang lebih adil, bermartabat, dan benar-benar demokratis.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *