Pendidikan: Pilar Netralitas atau Arena Perebutan Ideologi? Mengurai Jejak Politik di Dunia Pembentukan Karakter Bangsa
Dunia pendidikan seringkali diimpikan sebagai sebuah menara gading yang berdiri tegak, terpisah dari hiruk-pikuk intrik kekuasaan, tempat di mana ilmu pengetahuan disemai dan karakter dibentuk tanpa bias. Namun, realitasnya jauh lebih kompleks. Sejak bangku taman kanak-kanak hingga gerbang universitas, jejak politik—baik yang terang-terangan maupun yang tersamar—selalu hadir, membentuk, dan terkadang membengkokkan arah dan tujuan pendidikan itu sendiri. Pertanyaan krusialnya adalah: apakah jejak ini merupakan bagian tak terpisahkan dari pembentukan masyarakat yang beradab, ataukah ia telah melenceng menjadi alat politisasi yang membahayakan otonomi dan integritas pendidikan?
Politik dan Pendidikan: Sebuah Hubungan Tak Terelakkan
Hubungan antara politik dan pendidikan bukanlah sebuah anomali, melainkan sebuah keniscayaan. Pendidikan, pada dasarnya, adalah investasi terbesar sebuah bangsa dalam masa depannya. Oleh karena itu, negara, sebagai entitas politik tertinggi, memiliki kepentingan fundamental dalam mengatur dan mengarahkan sistem pendidikan.
- Penentuan Kebijakan dan Pendanaan: Keputusan politiklah yang menentukan alokasi anggaran pendidikan, pembangunan infrastruktur sekolah, penggajian guru, dan penyediaan fasilitas belajar. Visi politik suatu pemerintahan akan tercermin dalam seberapa besar prioritas yang diberikan pada sektor ini.
- Perumusan Kurikulum Nasional: Kurikulum tidak pernah sepenuhnya netral. Ia adalah cerminan nilai-nilai, sejarah, dan cita-cita yang ingin ditanamkan suatu bangsa kepada generasi penerusnya. Pelajaran sejarah, pendidikan kewarganegaraan, bahkan sastra, seringkali memuat narasi yang disepakati secara politik untuk membentuk identitas nasional dan moralitas warga negara.
- Pembentukan Warga Negara: Tujuan utama pendidikan adalah membentuk warga negara yang cakap, produktif, dan berpartisipasi aktif dalam kehidupan bermasyarakat. Politik mendefinisikan apa yang dimaksud dengan "warga negara yang baik" dalam konteks sistem pemerintahan yang berlaku – apakah itu demokrasi, sosialis, atau lainnya.
Dalam konteks ini, politik berfungsi sebagai kerangka kerja yang memungkinkan pendidikan berjalan, memastikan aksesibilitas, dan mengarahkan tujuan makro yang selaras dengan visi pembangunan nasional. Ini adalah dimensi politik yang inheren dan seringkali diperlukan.
Ketika Politik Berubah Menjadi Politisasi: Ancaman Terhadap Otonomi Pendidikan
Garis tipis antara "pengaruh politik yang sah" dan "politisasi yang merusak" seringkali kabur. Politisasi terjadi ketika kepentingan politik sempit, ideologi partisan, atau agenda kekuasaan jangka pendek mendominasi dan membajak tujuan luhur pendidikan.
- Indoktrinasi dan Pembatasan Pemikiran Kritis: Politisasi ekstrem seringkali berujung pada upaya indoktrinasi, di mana siswa diajarkan untuk menerima suatu ideologi tunggal tanpa pertanyaan. Ini membunuh semangat skeptisisme sehat dan kemampuan berpikir kritis, yang esensial untuk kemajuan intelektual dan inovasi. Kurikulum diubah untuk mempromosikan pandangan partai penguasa, menyensor informasi yang tidak menguntungkan, atau menekan diskusi tentang topik-topik sensitif.
- Intervensi dalam Otonomi Akademik: Kebebasan akademik bagi dosen dan peneliti, serta otonomi institusi pendidikan, dapat terkikis. Pengangkatan rektor atau dekan bisa didasarkan pada loyalitas politik daripada meritokrasi. Penelitian yang tidak sejalan dengan narasi pemerintah bisa dibatasi atau didanai. Guru dan dosen mungkin merasa takut untuk membahas isu-isu kontroversial atau menyampaikan pandangan yang berbeda.
- Diskriminasi dan Fragmentasi: Politisasi dapat menyebabkan diskriminasi dalam akses pendidikan atau perlakuan terhadap kelompok-kelompok tertentu berdasarkan afiliasi politik, etnis, atau agama. Ini memecah belah komunitas pendidikan dan merusak prinsip kesetaraan.
- Pemanfaatan Pendidikan untuk Kepentingan Elektoral: Dana pendidikan bisa dialihkan untuk proyek-proyek populis yang berorientasi citra politik, bukan pada peningkatan kualitas jangka panjang. Guru dan tenaga pendidik bisa dimobilisasi untuk mendukung kampanye politik.
Manifestasi Jejak Politik di Dunia Pendidikan
Jejak politik ini dapat termanifestasi dalam berbagai bentuk:
- Buku Teks dan Kurikulum: Perubahan narasi sejarah setelah pergantian rezim, penekanan pada ideologi tertentu dalam pelajaran Pancasila atau kewarganegaraan, atau perdebatan tentang materi pelajaran sains yang dianggap bertentangan dengan keyakinan tertentu.
- Pengangkatan Pejabat Pendidikan: Penunjukan menteri pendidikan, rektor, kepala sekolah, bahkan pengawas yang lebih didasarkan pada kedekatan politik daripada kompetensi profesional.
- Gerakan Mahasiswa dan Guru: Mahasiswa sebagai agen perubahan politik seringkali menjadi sasaran represi atau kooptasi. Serikat guru juga dapat menjadi kekuatan politik yang signifikan, menuntut hak-hak atau menolak kebijakan pemerintah.
- Fasilitas dan Aksesibilitas: Prioritas pembangunan sekolah di daerah tertentu karena pertimbangan politik, atau kebijakan beasiswa yang terpengaruh oleh lobi-lobi politik.
Mencari Keseimbangan: Menuju Pendidikan yang Berintegritas
Mengingat kompleksitas ini, pertanyaan "netral atau terpolitisasi" tidaklah sesederhana "ya" atau "tidak". Pendidikan tidak mungkin sepenuhnya netral karena ia selalu beroperasi dalam kerangka nilai-nilai masyarakat dan tujuan politik yang lebih besar. Namun, pendidikan harus berjuang keras untuk tidak menjadi terpolitisasi.
Keseimbangan terletak pada:
- Otonomi Akademik dan Kebebasan Berpikir: Melindungi hak guru dan siswa untuk berpikir kritis, berdiskusi terbuka, dan menjelajahi berbagai perspektif tanpa takut akan sanksi politik.
- Kurikulum yang Berimbang dan Inklusif: Menyajikan berbagai sudut pandang dalam materi pelajaran, mendorong analisis kritis, dan menghindari narasi tunggal yang dogmatis.
- Profesionalisme dan Meritokrasi: Memastikan bahwa pengangkatan dan promosi dalam dunia pendidikan didasarkan pada kompetensi dan integritas, bukan pada afiliasi politik.
- Partisipasi Publik yang Konstruktif: Mendorong keterlibatan masyarakat, orang tua, dan ahli pendidikan dalam perumusan kebijakan, sebagai penyeimbang terhadap pengaruh politik sempit.
- Fokus pada Tujuan Jangka Panjang: Memastikan bahwa kebijakan pendidikan didasarkan pada riset dan kebutuhan masa depan bangsa, bukan pada siklus politik jangka pendek.
Kesimpulan
Jejak politik di dunia pendidikan adalah realitas yang tak terhindarkan. Politik menyediakan kerangka kerja, pendanaan, dan arah bagi sistem pendidikan. Namun, ketika jejak ini berubah menjadi dominasi ideologi partisan atau alat kekuasaan, pendidikan kehilangan esensinya sebagai pilar pencerahan, pembentuk karakter, dan generator pemikiran kritis. Tantangan bagi setiap bangsa adalah menemukan keseimbangan yang tepat: memastikan bahwa politik melayani pendidikan untuk membentuk warga negara yang cerdas dan berintegritas, bukan sebaliknya, di mana pendidikan menjadi arena perebutan ideologi yang memecah belah. Hanya dengan menjaga integritas dan otonominya, pendidikan dapat benar-benar memenuhi perannya sebagai mercusuar harapan bagi masa depan bangsa.